Kamis, 17 Desember 2015

KATAK SAJA SELEKTIF DALAM MEMILIH PASANGAN UNTUK KAWIN



VIVAnews - Tim peneliti dari University of Minnesota, Amerika Serikat, menemukan bahwa katak betina lebih memilih kawin dengan katak jantan yang bisa melakukan banyak pekerjaan. Selera katak itu sama seperti manusia, yang memilih pasangan yang bisa melakukan banyak pekerjaan.



Dilansir Nature World News, 19 Agustus 2013, penelitian ini juga mendukung hipotesis mengenai multitasking, yang menunjukkan bahwa perempuan lebih memilih laki-laki yang dapat mengelola banyak pekerjaan dalam satu waktu.

Para peneliti menemukan katak jantan yang berasal dari spesies Hyla chrysoscelis, atau katak abu-abu asli dari Amerika Utara, dapat menghasilkan suara panggilan kawin yang panjang.

Menurut Jessica Ward, peneliti utama, biasanya durasi suara panggilan kawin pada katak jantan sekitar 20 sampai 40 denyut nadi perpanggilan. Rata-rata setiap panggilan terjadi antara 5 sampai 15 kali per menit.

"Penelitian ini telah mendengarkan 1.000 panggilan kawin. Kami menemukan katak betina lebih memilih katak jantan yang mampu membuat suara panggilan yang lebih panjang dan lebih sering," kata Ward.

Temuan ini juga mendukung hasil hipotesis yang berlaku pada manusia, bahwa perempuan lebih memilih pasangan yang mampu mengerjakan tugas yang rumit pada suatu waktu.

"Kita sebagai manusia juga mungkin akan lebih memilih mitra yang multitasking, seperti seseorang yang memiliki penghasilan lebih baik, memasak makan malam, mengelola keuangan, dan menjaga anak-anak," ungkap Ward.

Penelitian ini sudah diterbitkan di Jurnal Animal Behavior. (umi)

ILMUWAN INGGRIS BERHASIL KEMBANGBIAKAN KATAK PEMBUNUH BERACUN

  KATAK INI LANGKA SETELAH HABITAT MEREKA TERANCAM


VIVAnews - Peneliti Inggris berhasil mengembangbiakkan katak biru panah beracun (Poison dart) yang hanya bisa ditemukan di hutan tropis Kosta Rika dan Brasil. Katak ini termasuk dalam keluarga spesies Dendrobatidae.

Laman Dailymail, Selasa 18 Juni 2013, memberitakan katak yang berwarna mencolok itu saat ini terancam habitatnya karena wilayah mereka sedang dihancurkan. 

Untungnya peneliti hewan di Walford and North Shropshire College berhasil menyelamatkan serta mengembangbiakkan salah satu amfibi mematikan ini di laboratorium mereka. Konon katak jenis ini mampu membunuh 10 orang dewasa.

Simon Metcalfe, ahli hewan universitas tersebut menjelaskan pengembangbiakan awalnya mengalami kesulitan karena kondisi habitat yang bebeda. "Meski telur diletakkan pada beberapa kesempatan, para mahasiswa gagal membuat telur berubah menjadi berudu," kata Metcalfe.

Metcalfe melanjutkan, telur katak itu selalu berjamur dan tidak terbentuk. Kemudian setelah meneliti kondisi lingkungan yang dibutuhkan dan mendalami perilaku perkembangbiakan telur itu, beberapa penyesuaian dibuat oleh peneliti untuk menunggu sarang pertama telur diletakkan.

"Sekarang, semua riset dan usaha kami telah terbayar dan katak muda pertama kami telah pindah ke air dan pada lahan kering. Dengan demikian metamorfosis saat ini lengkap," jelasnya.

Dari Sepasang Katak

Pengembangbiakan ini bermula saat seorang mahasiswa mendonasikan sepasang katak jantan dan betina jenis ini ke Walford and North Shropshire College. Setelah pasangan katak itu membuahi telur, tim peneliti menempatkan katak dalam kolam. Butuh waktu 12 minggu untuk membuat katak muda berkembang. 

Tim yang terdiri dari empat ahli itu kemudian mengatur suhu air pada 27 derajat celcius dan menyinari air dengan ultraviolet. Cara ini bertujuan menciptakan kondisi habitat alami katak tersebut.

Menurut catatan, hanya ada lebih dari 100 spesies katak jenis panah beracun, dengan kisaran panjang tubuh antara kurang dari 1 sampai 2,5 inchi di dunia. 

Warna mencolok berfungsi untuk memperingatkan predator bahwa mereka adalah katak mematikan. Racun dalam katak ini terletak pada kulit mereka setelah memakan kulit pohon tertentu dan serangga di alam liar. 

Katak ini sering dinamakan katak racun panah karena racunnya sering digunakan oleh suku asli Amerika pada panah mereka. Meski katak itu terkenal sangat mematikan, tapi saat dalam tahapan katak muda belum memiliki racun. (umi)

KATAK INDONESIA KEJUTKAN ILMUWAN


Spesies katak baru yang ditemukan di Sulawesi menjadi sensasi di dunia sains. Katak bernama latin Limnonectes larvaepartus itu adalah satu-satunya jenis katak yang tidak bertelur, melainkan melahirkan kecebong

Satu satunya katak yang tidak bertelur

 Bildergalerie Frösche Frosch im Wasser
Seekor katak yang ditemukan peneliti di jantung hutan tropis Indonesia mengejutkan dunia sains. Tidak lebih karena satwa yang dibaiat dengan nama Limnonectes larvaepartus itu tidak bertelur sebagaimana lazimnya, melainkan melahirkan kecebong alias berudu.

Katak bertaring ganda ini sebenarnya telah ditemukan oleh ilmuwan Indonesia, Djoko Iskandar, sekitar sepuluh tahun lalu. Namun begitu hingga kini para peneliti belum pernah menyaksikan katak tersebut ketika dalam proses reproduksi.

Hingga akhirnya baru baru ini pakar Herpetologi AS dari University of California, menjelajah hutan Sulawesi dan menemukan katak betina yang sedang melahirkan berudu. "Hampir semua katak di dunia, lebih dari 6000 jenis, memiliki sistem pembuahan eksternal, di mana pejantan memeluk betina dan melepaskan spermanya untuk membuahi telur yang saat bersamaan dikeluarkan oleh betina," kata McGuire.

"Katak baru ini adalah satu dari 10 atau 12 jenis yang mengembangkan sistem pembuahan internal. Dan di antara mereka, katak ini adalah satu-satunya yang melahirkan berudu dan bukan telur."

Ada beberapa perilaku unik lainnya yang dimiliki katak berkaitan dengan metode reproduksinya.

Beberapa jenis katak di Afrika juga memiliki sistem pembuahan internal, tapi mereka melahirkan katak kecil yang tidak pernah melewati fase kecebong. Beberapa jenis lainnya "membawa telur di kantung-kantung kecil di punggungnya, sementara yang lain menggendong berudu di mulutnya," tulis University of California.

Dua spesies yang kini sudah punah bahkan "dikenal dengan metode yang unik, yakni menelan telur yang sudah dibuahi, mengerami di perutnya dan melahirkan katak kecil lewat mulutnya."

Katak ajaib asal Sulawesi biasanya tampil dalam warna abu-abu atau cokelat dan cuma tumbuh sepanjang 40 milimeter serta berbobot kurang dari 5 gram. Taring pada mulutnya bukan digunakan untuk mengunyah, melainkan buat melindungi diri ketika bertarung dengan katak lain.
sumber : http://www.dw.com/


 KODOK DAN KATAK: AMFIBI YANG TERANCAM
Kodok Pemberi Petunjuk
Amfibi dianggap bisa jadi indikasi bagus akan sehat atau tidaknya Bumi. Karena mereka menyerap zat-zat dari air dan udara. Sehingga mereka lebih sensitif daripada binatang lain. Jadi mereka juga disebut "burung kenari di tambang." Artinya, mereka bisa memberikan peringatan dini akan kerusakan lingkungan.


KODOK DAN KATAK: AMFIBI YANG TERANCAM
Amfibi tanpa Paru-Paru
Kodok berkepala pipih yang bernama ilmiah "Barbourula Kalimantanensis" adalah salah satu jenis kodok dan salamander yang tidak punya paru-paru. Jenis kodok yang terancam punah itu bernapas sepenuhnya lewat kulit. Mereka hidup di sungai-sungai deras di Kalimantan, dan terancam polusi serta racun akibat penambangan emas ilegal.
Penulis: Samantha Early 



KODOK DAN KATAK: AMFIBI YANG TERANCAM
Spesies Baru
Ketika banyak populasi amfibi terancam atau bahkan punah, banyak spesies baru ditemukan. Tahun lalu, katak berwarna kuning, yang bisa menyebabkan jari berwarna kuning jika menyentuhnya, ditemukan di pegunungan Panama barat oleh pakar biologi Andreas Hertz. Nama ilmiah katak itu: Diasporus Citrinobapheus. 


KODOK DAN KATAK: AMFIBI YANG TERANCAM
Beragam dan Memukau
Walaupun jadi sasaran perdagangan ilegal, kodok berwarna merah ini tetap termasuk kategori "least concern" (tidak terlalu mengkhawatirkan) pada daftar IUCN (International Union for Conservation of Nature). Kodok ini hanya berukuran 2,5 cm dan ditemukan di Costa Rica, Nicaragua, Panama dan Puerto Rico. Racun kodok ini tidak terlalu berbahaya dibanding dari kodok lainnya.



  KODOK DAN KATAK: AMFIBI YANG TERANCAM
Manusia Perlu Kodok dan Katak
Kodok, katak, berbagai jenis salamander dan amfibi jenis sesilia, memegang peranan penting dalam rantai makanan. Mereka memakan serangga, kemudian dimakan ular, burung, bahkan manusia. Lewat riset medis, banyak amfibi diketahui memproduksi zat kimia yang berguna bagi manusia. Katak yang tampak pada gambar memproduksi racun yang dibubuhkan pada panah oleh penduduk asli.


KODOK DAN KATAK: AMFIBI YANG TERANCAM
Ditemukan Kembali di Israel
Jenis kodok dari rawa Hula di Israel diduga punah enam dasawarsa terakhir, sampai seekor di antaranya ditemukan melompat di jalanan di Israel utara tahun 2011. Sejak itu, ditemukan lebih banyak lagi. Diperkirakan hingga 200 hidup di lembah Hula. Sebagai organisme yang mempertahankan ciri-cirinya selama jutaan tahun, kodok ini dianggap "fosil hidup."  


KODOK DAN KATAK: AMFIBI YANG TERANCAM
Mengapa Semakin Berkurang?
Chytridiomycota adalah pembunuh amfibi paling berbahaya sedunia. Jamur itu merusak kulit katak, yang juga berfungsi sebagai organ pernapasan. Jamur itu meluas dan mematikan banyak spesies, termasuk katak jenis Atelopus ini. 


KODOK DAN KATAK: AMFIBI YANG TERANCAM
Dulu Banyak, Sekarang Terancam
Katak bermata merah yang tinggal di sungai, Duellmanohyla uranochroa, menjadi simbol amfibi yang terancam. Katak yang aktif di malam hari ini dulu banyak ditemukan di Costa Rica dan Panama. Sekarang jumlahnya makin berkurang karena hilangnya habitat dan penyakit akibat jamur. 


KODOK DAN KATAK: AMFIBI YANG TERANCAM
Spesies Baru
Ketika banyak populasi amfibi terancam atau bahkan punah, banyak spesies baru ditemukan. Tahun lalu, katak berwarna kuning, yang bisa menyebabkan jari berwarna kuning jika menyentuhnya, ditemukan di pegunungan Panama barat oleh pakar biologi Andreas Hertz. Nama ilmiah katak itu: Diasporus Citrinobapheus. 



KATAK INDONESIA LANGKA DAN BERAGAM JENISNYA

Katak Indonesia, Unik dan Langka

Kodok atau Katak di Indonesia mencapai 351 jenis (yang teridentifikasi) dari sekitar 5.915 jenis kodok atau katak yang terdapat di dunia. Jumlah ini berarti sepertiga jenis katak di dunia berada di Indonesia. Bahkan sebagian besar kodok di Indonesia adalah endemik yang tidak dimiliki oleh negara lain. Sayangnya tidak sedikit dari jenis katak tersebut yang terancam punah padahal sampai sekarang belum satupun jenis kodok yang dinyatakan dilindungi oleh pemerintah Indonesia.

Padahal Kodok adalah kelompok binatang yang sangat peka terhadap perubahan lingkungan, seperti polusi air, perusakan hutan, ataupun perubahan iklim. Karena kepekaan mereka, amfibi ini dapat dijadikan indikator perubahan lingkungan. Jika populasi Katak di suatu wilayah berkembang dengan baik dapat dipastikan lingkungan di tempat tersebut masih sehat demikian juga sebaliknya.

Penyebab utama kelangkaan Kodok di Indonesia adalah hilangnya habitat alami kodok, seperti penggundulan hutan hujan tropis, pencemaran air sungai, dan konversi lahan basah menjadi areal perkebunan. Jenis-jenis kodok asli hutan hidupnya sangat bergantung pada keberadaan hutan. Maka, rusaknya hutan akan berdampak negatif pada kelangsungan hidup jenis-jenis itu.

Selain menyumbang sepertiga jumlah spesies katak di dunia, katak Indonesia mempunyai banyak keunikan. Di antaranya warna, ukuran, hingga struktur tubuh. Katak unik dan langka di Indonesia antara lain:

Katak terkecil dari Papua, Oreophryne minuta





Katak terbesar. Limnonectes blythi, besarnya mencapai 30 cm. Kodok ini ditemukan di Sumatera Barat. Dipercaya sebagai Katak terbesar kedua di dunia. Katak terkecil, Oreophryne minuta, ditemukan di Papua. Kodok Merah atau Kodok Darah (Leptophryne cruentata). Kodok berwarna merah itu ditemukan Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dan merupakan satu-satunya katak yang berwarna merah di Indonesia. Katak Merah merupakan salah satu hewan langka yang masuk dalam Red List International Union for Conservation of Nature (IUCN) dengan status CR (critically endangered) atau “terancam punah”
Katak tanpa paru-paru, Barbourula kalimantanensis. Kodok yang tak mempunyai paru-paru ditemukan di Kalimantan pada 1978. Hingga kini, kodok jenis ini hanya terdapat di Kalimantan. Katak yang bernafas menggunakan kulitnya ini hanya ditemukan di Taman Nasional Baka Bukit Raya, Kalimantan Barat.

Kodok Pohon Ungaran (Philautus jacobsoni) merupakan spesies endemik yang dulunya hanya tinggal di dataran tinggi kawasan hutan Gunung Ungaran, Semarang, Jawa Tengah. Ukuran tubuhnya termasuk kecil dan arboreal atau hidup di lubang-lubang pohon. Satus konservasinya berdasarkan IUCN adalah CR (critically endangered) atau “terancam punah”. Keberadaannya sangat sulit diketemukan. Bahkan satu-satunya sampel yang ada diambil tahun 1930-an dan disimpan di Museum Leiden, Belanda.
Kongkang Jeram (Huia masonii), Kodok Pohon Mutiara (Nyctixalus margaritifer), Kodok Pohon Kaki Putik (Philautus pallidipes), dan Kodok Pohon Jawa (Rhacophorus javanus). Keempatnya merupakan katak endemik Jawa yang hanya terdapat di Pulau Jawa. Menurut IUCN keempatnya berstatus “rentan” (VU).
Selain daftar di atas masih terdapat banyak spesies katak lainnya yang yang memiliki keunikan. Bahkan diyakini, di luar 351 jenis Katak yang telah teridentifikasi masih terdapat ratusan jenis lainnya yang belum dikenal.

Sayang data tentang kodok di Indonesia masih sangat kurang. Kurangnya data ini terkait dengan minimnya ahli di bidang ini. Bisa saja terjadi akan banyak spesies Katak yang punah lebih dahulu sebelum sempat dikenali. Maklum langkanya Katak di Indonesia berbanding dengan para peneliti dan ahli di bidang ini. Bahkan uniknya, mungkin saja, para ahli Katak ini lebih langka dari pada Katak itu sendiri (?).by alamendah

Referensi: republika; Koran Tempo (2 Maret 2009); cetak.kompas.com (17 Desember 2008). Gambar: trubus;

KATAK BERTARING DI TEMUKAN DI SULAWESI


Penemuan katak bertaring yang termasuk dalam genus Limnonectes (beberapa media di Indonesia menulisnya sebagai genus Limnocetes) ini semakin membuktikan betapa kaya dan tingginya keanekaragaman hayati Indonesia, terutama pulau Sulawesi. Bahkan 9 dari 13 jenis katak bertaring ini diyakini sebagai spesies baru.

Katak yang dikelompokkan dalam genus Limnonectes ini disebut bertaring karena memiliki tonjolan tulang di rahang bawah. Taring yang dimiliki jenis katakini bukan berarti gigi taring yang sebenarnya, sebab tak memiliki akar gigi atau ciri-ciri gigi lainnya.


Taring kecil yang dimiliki katak bertaring asal Sulawesi
Sampai saat ini, ilmuwan belum mengetahui manfaat taring pada katak genus ini. Beberapa kemungkinan adalah sebagai senjata melawan pejantan lain untuk mempertahankan wilayah, menangkap mangsa seperti ikan dan serangga serta sebagai senjata melawan predator.

Sebagaimana disampaikan Evans dalam papernya, seluruh spesies katak bertaring (fanged frogs) yang ditemukan di Sulawesi memiliki variasi adaptasi yang berbeda, sesuai kondisi lingkungan dan iklim mikro masing-masing. Ada yang berdaptasi mulai dari ekosistem yang terbasah hingga terkering juga dengan beragam vegetasi yang ada.




Salah satu spesies baru katak bertaring yang berevolusi dengan meletakkan telurnya di daun

Bentuk adaptasi katak-katak dengan ‘gigi taring’ ini diantaranya adalah spesies katak bertaring dengan kaki berselaput tebal untuk beradaptasi dengan arus sungai yang deras. Sementara yang lain berselaput tipis, sesuai dengan lingkungan darat. Yang unik, terdapat jenis katak yang melakukan fertilisasi internal, meletakkan telurnya jauh dari air dan mengawasinya.

Tim peneliti yang yang menemukan 13 spesies katak bertaring (fanged frogs) ini dipimpin oleh Ben Evans, (McMaster University) dan beranggotakan Mohammad I. Setiadi (University of California, Berkeley), Jimmy A. McGuire (University of California, Berkeley), Rafe M. Brown (University of Kansas), Mohammad Zubairi (University of California, Berkeley), Djoko T. Iskandar (Institut Teknologi Bandung), Noviar Andayani (Universitas Indonesia dan Wildlife Conservation Society Indonesia Program), dan Jatna Supriatna (Universitas Indonesia).



Katak bertaring asal Sulawesi ini belum bernama
Masih diperlukan berbagai penelitian lanjutan untuk mengenali spesies-spesies katak bertaring dari genus Limnocetes ini. Bahkan mungkin masih tersimpan berbagai jenis katak-katak atau bahkan binatang unik lain yang menunggu ditemukan di Indonesia, terutama Sulawesi.

Tambahan (Limnocetes atau Limnonectes): Beberapa media di Indonesia (Kompas dan National Geographic Indonesia) menulisnya sebagai genus Limnocetes, namun setelah saya telusuri dari situs resmi The American Society of Naturalist dan National Geographic Internasional) dan membaca jurnal Ben Evans dan Mohammad I. Setiadi, nama genus yang benar adalah Limnonectes.

Genus Limnonectes terdiri atas sekitar 50-an spesies yang telah dikenali. Salah satu jenis Genus Limnonectes yang umum dikenal adalah bangkong tuli (Limnonectes kuhlii) yang endemik Jawa dan biasa dikenal juga sebagai bancet hutan atau bangkong surat (Sunda).

Klasifikasi ilmiah: Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Subfilum: Vertebrata; Kelas: Amphibia; Subkelas: Lissamphibia; Ordo: Anura; Famili: Dicroglossidae; Subfamili: Dicroglossinae; Genus: Limnonectes.

Referensi dan gambar:

http://www.asnamnat.org/node/123 (situs resmi American Society of Naturalist)
sains.kompas.com/read/2011/08/14/16055090/13.Katak.Bertaring.Ditemukan.di.Sulawesi
nationalgeographic.co.id/lihat/berita/1825/katak-bertaring-ditemukan-di-sulawesi
gambar: news.nationalgeographic.com/news/2011/08/pictures/110816-fanged-frogs-new-species-indonesia-sulawesi-science

KATAK PELANGI KALIMANTAN FENOMENAL


Katak Pelangi Kalimantan ini pada tahun 2010 pernah ditetapkan sebagai Top 10 Most Wanted Lost Frogs (Sepuluh Katak Langka Paling Dicari) oleh SSC IUCN global Spesialis Amfibi dan Conservation International. Maklum, sebelumnya katak pelangi sekali terlihat pada tahun 1924. Hingga pada Juli 2011 ketika para peneliti menemukan tiga ekor katak pelangi di pulau Kalimantan.






Katak Pelangi Kalimantan kadang disebut juga sebagai Katak Sungai Sambas. Katak yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Sambas Stream Toad yang mempunyai nama latin (ilmiah) Ansonia latidisca.

Nama “pelangi” didapat katak ini lantaran kulitnya yang mempunyai pola warna hijau terang, ungu, dan merah. Disekujur kulitnya yang berwarna-warni ditumbuhi bintik-bintik mirip kutil. Ukuran katak pelangi sendiri tergolong kecil, panjangnya antara 30 hingga 50 mm. Sedangkan nama ‘Sambas Stream Toad” didapatkan lantaran pertama kali katak ini ditemukan di aliran-aliran sungai di sekitar Sambas.




Katak pelangi merupakan hewan endemik yang hanya dapat ditemukan di pulau Kalimantan (Indonesia dan Malaysia). Penemuan pertama kali pada tahun 1924, katak langka ini dijumpai di Gunung Damus, Sambas, Kalimantan (Indonesia) dan Gunung Penrissen, Sarawak (Malaysia). Di tempat kedua inilah kemudian pada tahun 2011 ditemukan kembali tiga ekor katak pelangi.

Katak Pelangi Kalimantan
Kepala dan mata katak pelangi kalimantan

Belum banyak yang bisa diungkap dari perilaku katak pelangi (Ansonia latidisca) ini. Termasuk berapa jumlah populasi maupun daerah persebarannya. Namun diperkirakan katak berkulit unik ini mendiami hutan-hutan primer yang merupakan hutan hujan pegunungan.

Katak Pelangi Kalimantan (Ansonia latidisca) merupakan hewan terestrial (hidup di permukaan tanah) di dekat sumber air tawar. Ancaman utama bagi Katak Pelangi Kalimantan adalah hilangnya habitat dan degradasi lingkungan akibat deforestasi hutan dan alih fungsi hutan.







Katak pelangi kalimantan oleh IUCN Redlist didaftar dalam status konservasi Endangered (Terancam Punah) sejak 2004. Sedangkan di Indonesia sendiri, katak pelangi mungkin ‘belum dikenal’ sehingga meskipun pada 2010 pernah ditetapkan sebagai Top 10 Most Wanted Lost Frogs (Sepuluh Katak Langka Paling Dicari) oleh SSC IUCN global Spesialis Amfibi dan Conservation International, namun namanya luput dan tidak termasuk dalam daftar hewan yang dilindungi di Indonesia.

Klasifikasi ilmiah: Kerajaan: Animalia. Filum: Chordata. Kelas: Amphibia. Ordo: Anura. Famili: Bufonidae. Genus: Ansonia. Spesies: Ansonia latidisca. by alamendah

Referensi dan gambar :

http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/54471/0
http://www.conservation.org/newsroom/pressreleases/Pages/Lost_mphibian_Stages_Amazing_Reappearing_Act.aspx
http://www.amphibians.org/blog/2011/09/16/bornean-rainbow-toad
nationalgeographic.co.id/berita/2011/07/kodok-pelangi-borneo-ditemukan-kembali-setelah-87-tahun
gambar: http://www.conservation.org

PERBEDAAN KATAK DAN KODOK

Perbedaan antara kata dan kodok sering kali membingungkan. 

Wajar jika kemudian banyak yang sulit membedakan antara keduanya. Bahkan saling tertukar dalam menggunakan kedua kata tersebut. Keduanya merupakan hewan amfibi  yang dikelompokkan dalam ordo Anura. Ordo ini memiliki sedikitnya 33 famili dengan lebih dari 5000 spesies.



Perbedaan antara kata dan kodok sering kali membingungkan. Wajar jika kemudian banyak yang sulit membedakan antara keduanya. Bahkan saling tertukar dalam menggunakan kedua kata tersebut. Keduanya merupakan hewan amfibi yang dikelompokkan dalam ordo Anura. Ordo ini memiliki sedikitnya 33 famili dengan lebih da
Perbedaan dan penyebutan katak dan kodok lebih umum digunakan dalam budaya populer. Umumnya masyarakat membedakan keduanya berdasarkan beberapa ciri fisik seperti bentuk tubuh, bentuk kaki belakang, tampilan kulit, kemampuan melompat, dan tempat hidupnya. Dalam bahasa Inggris katak disebut sebagai “frog” sedangkan kodok dinamai “toad“. Di Indonesia kodok kerap juga disebut sebagai “bangkong”.

Katak bertaring asal Sulawesi
Secara umum, meski tidak selalu benar, perbedaan fisik antara katak dan kodok  adalah sebagai berikut :
Kulit; Umumnya katak memiliki kulit halus, lembab, dan berlendir, sedangkan kodok atau bangkong memiliki kulit kasar, berbintil-bintil, dan kering.
Bentuk kaki belakang katak; Umumnya kaki belakang katak kuat, panjang, dan berseput yang diadaptasikan untuk melompat, memanjat, dan berenang. Sedangkan kaki belakang kodok pendek karena lebih disesuaikan untuk berjalan sehingga kurang pandai melompat.
Bentuk tubuh; Umumnya katak memiliki bentuk tubuh yang ramping. Sedangkan kodok memiliki tubuh yang gemuk dan pendek.
Kemampuan melompat; Umumnya katak mampu melompat hingga jauh bahkan jenis-jenis katak pohon mampu melompat dari satu pohon ke pohon lainnya. Sedangkan kodok umumnya kurang pandai melompat.
Konsumsi manusia; Beberapa jenis katak (seperti sawah, katak hijau, dan katak totol) diperdagangkan dagingnya untuk dikonsumsi. Sedangkan kodok umumnya tidak dikonsumsi manusia.
Perbedaan-perbedaan fisik tersebut tidak selalu benar. Sebagai contoh adalah kodok merah (Leptophryne cruentata). Meskipun sering kali disebut juga sebagai katak merah namun katak langka ini dalam bahasa Inggris disebut sebagai Bleeding Toad atau Fire Toad. Padahal dilihat dari fisiknya ia mempunyai kaki belakang yang ramping.   by alamendah
Klasifikasi ilmiah: Kerajaan: Animalia. Filum: Chordata. Kelas: Amphibia. Ordo: Anura.

Kodok Merah atau Leptophryne cruentata. 




Jenis kodok endemik yang langka. Kodok Merah merupakan spesies ampibi endemik Jawa Indonesia yang hanya bisa ditemukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.
Kodok Merah pun menjadi salah satu hewan langka yang terancam punah. Sehingga tidak berlebihan jika kemudian IUCN Redlist mencatatnya dengan status Critically Endangered(Kritis). Meskipun di Indonesia sendiri Kodok ini luput dari daftar satwa yang dilindungi.
Kodok Merah sering kali disebut juga sebagai Katak Darah. Kodok Merah dalam bahasa Inggris disebut sebagai Bleeding Toad atau Fire Toad. Sedangkan dalam bahasa latin (nama ilmiah) hewan ini disebut Leptophryne cruentata. Nama latinnya ini mempunyai arti kurang lebih ‘berdarah’.

Kodok Merah (Leptophyrne cruentata)
Diskripsi, Ciri, dan Populasi. Kodok Merah (Leptophryne cruentata) berukuran kecil dan ramping. Ciri khasnya adalah wana kulitnya yang dipenuhi bintik-bintik berwarna merah darah. Kulit katak merah berwarna hitam dengan bintik-bintik merah atau kuning atau putih marmer. Lantaran warna merahnya yang menyerupai darah, kodok ini biasa disebut juga sebagai katak merah.
Kodok ini menyukai daerah dekat air yang mengalir deras di daerah berketinggian antara 1.000 – 2.000 meter dpl. Habitatnya hanya diperkirakan hanya terdapat di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Selebihnya tentang perilaku Kodok Merah (Bleeding Toad) belum banyak yang diketahui.
Pada tahun 1976 diperkirakan populasi katak ini masih sangat melimpah. Pada tahun 1987 dan paska meletusnya gunung Galunggung populasinya mulai jarang ditemui. Saking langkanya pada periode 90-an hingga 2003 hanya dapat ditemukan satu ekor Kodok Merah di sekitar air terjun Cibeureum.
Karena daerah sebarannya yang sangat sempit (endemik lokal) dan populasinya yang menurun drastis IUCN Redlist memasukkannya dalam daftar spesies Critically Endangered (Kritis) yang merupakan tingkat keterancaman tertinggi sebelum punah.
Sayangnya, meskipun populasinya sangat sedikit dan sebarannya yang sangat sempit, hewan langka, hewan endemik, sekaligus hewan unik ini tidak termasuk dalam satwa yang dilindungi di Indonesia.
Mungkin pemegang kebijakan di negeri ini terlalu menganggap remeh seekor kodok. Padahal kodok dan katak mempunyai peran penting sebagai indikator perubahan lingkungan. Dan yang tak kalah pentingnya, Kodok Merah merupakan salah satu aset negeri ini yang dititipkan kepada kita.
Kalsifikasi ilmiah: Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Kelas: Amphibia; Ordo: Anura; Famili: Bufonidae; Genus: Leptophryne; Spesies: Leptophryne cruentata.
Referensi dan gambar:
http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/54815/0
amphibiaweb.org/cgi/amphib_query?where-genus=Leptophryne&where-species=cruentata
calphotos.berkeley.edu/cgi/img_query?enlarge=0000+0000+0709+0068 (gambar)